Minggu, 08 Mei 2011
Selasa, 03 Mei 2011
Sebuah Ruang Publik Bernama Radio Komunitas
Oleh : Ambar Sari Dewi, S.Sos
Abstrak
Pasang surut perkembangan media sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik
negara yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, negara sangat
mendominasi media sehingga media menjadi instrumen bagi pemegang kekuasaan. Ketika
era reformasi bergulir, kran kebebasan pers terbuka lebar. Dominasi negara atas media
memang berkurang. Namun berkurangnya dominasi negara ternyata tidak menjamin
demokrasi media. Media massa yang merupakan bagian industri lantas lebih bertujuan
sebagai alat akumulasi modal bagi pemilik industri media.
Di tangan negara, media berwajah totaliter. Di tangan industri, media menjadi
komoditas yang hanya berorientasi pada pencarian laba. Bagaimana media melepaskan
diri dari jebakan dominasi negara dan pasar? Bagaimana jika media dikelola sendiri oleh
masyarakat? Dari sinilah awal mulainya terminologi media komunitas.
Secara umum terdapat tiga macam tipologi sistem media, yaitu otoritarian, liberal,
dan tanggung jawab sosial (Siebert, Peterson, Schramm, 1956). Tulisan ini bertujuan untuk
menjelaskan perkembangan media dengan menggunakan tipologi tersebut. Dinamika
media penyiaran secara lebih khusus ditunjukkan melalui peran radio komunitas di
berbagai daerah di Indonesia. Pada bagian penutup, penulis mengaitkan kondisi normatif
media penyiaran sebagai sarana penciptaan ruang publik sebagaimana diutarakan oleh
Habermas dengan realitas yang dialami oleh media penyiaran komunitas (radio komunitas).
Pengantar
Perkembangan demokrasi di belahan dunia manapun tak pernah bisa lepas dari
peran media. Di Indonesia pasang surut perkembangan media sangat dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi politik pada suatu era. Ketika negeri ini menerapkan sistem politik
demokrasi liberal tahun 1950-an media mengalami pertumbuhan pesat secara kuantitatif
maupun kualitatif. Pertumbuhan secara kuantitatif bisa dilihat dari banyaknya media yang
terbit. Sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, pemerintah memberikan sekitar 500
ribuan ijin untuk mendirikan radio 1.
Ketika sistem politik Indonesia mengarah ke sistem demokrasi terpimpin, wajah
media pun ikut berubah. Sejumlah media dibreidel karena berseberangan haluan dengan
penguasa. Kasus pembredelan terutama dialami oleh media cetak. Pada tahun 1957 dan
tahun1966, terjadi pembredelan media cetak oleh pemerintah Soekarno2. Hal yang sama
juga dialami media penyiaran yang lain meski dalam bentuk berbeda. Misalnya dalam
bentuk penyeragaman isi media dan menghindari konflik dengan penguasa 3.
Kontrol penguasa terhadap media dilanjutkan pada era Orde Baru. Pemerintah
Orde Baru sangat piawai memanfaakan media, khususnya media penyiaran untuk
memperkuat kekuasaan. Media penyiaran baik TV maupun radio dilarang memproduksi
berita. Satu-satunya media penyiaran yang boleh menyiarkan berita adalah Radio Republik
Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Radio dan TV lain diwajibkan
merelai setiap siaran berita RRI & TVRI.
Media yang seharusnya menjadi tulang punggung sistem demokrasi justru takluk
dan menjadi alat monopoli informasi oleh penguasa. Kasus pembredelan majalah TEMPO,
Editor dan Tabloid Detik pada tahun1994 adalah salah satu contoh betapa besarnya kontrol
pemerintah terhadap media.
Masa Orba juga ditandai dengan lahirnya televisi swasta pertama di Indonesia, yaitu
RCTI pada tahun 1988. Sejak itu televisi swasta yang lain bermunculan. Namun harapan
untuk memperoleh informasi yang berbeda, tidak tercapai. Salah satu penyebabnya adalah
karena pemilik televisi swasta tersebut adalah keluarga Suharto 4.
Paska ambruknya era Orde Baru, media di Indonesia kembali mengalami
perkembangan pesat. Era ini ditandai dengan kebebasan pers dan kebangkitan media
khususnya media penyiaran (TV dan radio) komersial. Kebebasan pers ini makin kuat
dengan disahkannya Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan pembubaran
Departemen Penerangan. Hampir 1.000 media baru muncul dari bulan Juni 1998 sampai
1 David T. Hill, Media Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, 2000
2 Pada tahun 1963 jumlah terbitan meningkat menjadi sekitar 200 terbitan dari tahun sebelumnya. Untuk
informasi lebih lengkap mengenai jumlah terbitan di Indonesia dari tahun 1945 sampai 1992, lihat David T. Hill,
The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164
3 David T. Hill, ibid.
4 Ibid
Desember 20005. Jumlah tersebut belum termasuk 250 SIUPP yang dikeluarkan sebelum
reformasi. Sementara kebangkitan media penyiaran ditandai dengan lahirnya 5 stasiun
televisi swasta yang lain.
Secara teoritis pertumbuhan media komersial ini akan mendorong demokratisasi
penyiaran di Indonesia. Namun yang terjadi adalah tumbuhnya penguasa media jenis baru;
konglomerasi media. Sebagai contoh, Kelompok Bimantara kini menguasai mayoritas
saham di 3 televisi swasta, yaitu RCTI, Metro TV dan Global TV. Demikian halnya dengan
televisi swasta yang lain.
Tipologi Sistem Media:
Otoritarian, Liberal, dan Tanggung Jawab Sosial
Fenomena kapitalisasi, birokratisasi dan desentralisasi media dapat kita teropong dengan
menggunakan tipologi paradigma sistem media, yaitu otoritarian, liberal, dan tanggung
jawab sosial (Siebert, Peterson, Schramm, 1956). Paradigma ini akan menunjukkan
bagaimana elemen-elemen dalam sebuah negara (pemerintah, masyarakat, swasta)
memandang dan menempatkan media sebagai aspek kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Paradigma pers otoritarian adalah paradigma paling tua. Sejarahnya sama panjang
dengan sejarah rezim otoritarian itu sendiri. Pers otoritarian menempatkan media sebagai
alat propaganda pemerintah. Fungsi pers adalah menjustifikasi versi kebenaran negara
tentang berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Pers boleh
mengeluarkan kritik sejauh tak bertentangan dengan kepentingan status quo. Otoritas
perizinan media ada di tangan pemerintah. Izin dapat dicabut secara sepihak setiap saat,
dan sensor pers dilakukan secara ketat.
Paradigma liberal adalah antitesa paradigma otoritarian. Pers tak lagi menjadi alat
pemerintah, dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun, hukum industrial membuat
kepemilikan media hanya menjadi otoritas para pemodal besar. Kepentingan pemodal,
pertama-tama adalah akumulasi keuntungan, baru kemudian kritik sosial. Dalam sistem
pers liberal, kontrol terhadap media ada di tangan para pemilik modal di dalam pasar bebas
ide-ide yang kapitalistik.
Paradigma tanggung jawab sosial merupakan pengembangan sekaligus kritik
terhadap paradigma liberal. Prinsip bahwa pers harus dilepaskan dari intervensi
pemerintah, tetap dipertahankan. Namun, muncul sensibilitas besar terhadap dampak
buruk pers liberal: kepemilikan media yang monopolistik dan dampak-dampaknya terhadap
5 Lihat John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61 Januari – Maret 2000,
www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern
Economic Review, 25 Maret 1999.
potensi manipulasi informasi oleh kekuatan modal. Dari sinilah filosofi diversity of
ownership dan diversity of content berakar.
Prinsip penciptaan ruang publik (public sphere) menjadi dasar paradigma tanggung
jawab sosial. Pers harus menjamin kesetaraan akses semua pihak untuk berbicara lewat
media, terutama tentang konflik-konflik sosial. Kontrol terhadap media diletakkan pada opini
masyarakat, preferensi konsumen, dan etika profesional. Untuk menjamin kepentingan
umum, dimungkinkan adanya intervensi negara secara terbatas.
Tabel 1: Tipologi Model Paradigma Sistem Media
Paradigma
Liberal
Paradigma
Otoritarian
Paradigma
Tanggung Jawab
Sosial
Posisi media Alat produksi
kapitalis
Alat propaganda
pemerintah
Alat pemberdayaan
masyarakat
Fungsi media Akumulasi kapital Menjustifikasi versi
kebenaran negara
tentang berbagai
persoalan yang
muncul dalam
kehidupan
masyarakat
Menjamin kesetaraan
akses semua pihak
untuk berbicara lewat
media, terutama
tentang konflik-konflik
sosial
Otoritas
perizinan
media
Di tangan
pemodal besar
Di tangan pemerintah Di tangan masyarakat
Kontrol
terhadap
media
Di tangan pemodal
melalui mekanisme
pasar (rating dan
iklan)
Di tangan
pemerintah melalui
mekanisme sensor
Opini masyarakat,
preferensi konsumen,
dan etika profesional
Kepentingan Akumulasi
keuntungan
Melanggengkan
status quo
Memberdayakan
masyarakat
Sumber: Agus Sudibyo, 2002
Tipologi Media Penyiaran:
Penyiaran Publik, Penyiaran Komersial dan Penyiaran Komunitas
Media adalah kunci strategis proses demokratisasi. Media memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang untuk mengekspresikan pendapatnya kepada banyak
kalangan. Media juga memudahkan interaksi dalam sebuah komunitas, oleh komunitas,
untuk komunitas itu sendiri. Proses ini mungkin mudah diimplementasikan di media cetak,
yang praktis tidak menggunakan sumber daya alam yang terbatas. Pada media radio dan
televisi, cerita menjadi lain, karena menggunakan sumber daya alam yang terbatas, yaitu
frekuensi.
Frekuensi dalam dunia penyiaran adalah ranah publik yang terbatas yang harus
dikelola berdasar prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman
isi (diversity of content). Meskipun kemajuan tekonologi kini memungkinkan frekuensi
digunakan dengan lebih efisien, namun penggunaannya tetap perlu diatur melalui kebijakan
negara. Jenis media yang menggunakan gelombang frekuensi sebagai medium penyampai
pesan adalah radio dan televisi.
Secara umum, terdapat tiga kategori dalam bidang penyiaran, yaitu media
penyiaran publik, swasta atau komersial dan penyiaran komunitas. Indonesia telah
mengakui keberadaan penyiaran komunitas yang dituangkan dalam Undang-undang nomor
32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Media penyiaran publik biasanya merupakan media yang didukung oleh negara
atau dimiliki oleh negara (Colin Faser dan Sonia Restrepo, 2001:3). Kebijakan
pemrogramannya dikontrol oleh satu media publik yang kewenangannya diatur oleh
hukum. Sebagian besar pendanaan untuk operasinya diperoleh dari iuran yang harus
dibayar oleh pendengar atau pemirsa untuk pesawat penerima yang mereka miliki di
rumah.
Media penyiaran komersial adalah lembaga penyiaran yang menyelenggarakan
penyiaran radio, televisi atau berlangganan yang mendasarkan operasinya atas prinsipprinsip
pencapaian keuntungan ekonomi (komersial) (Gazali, 2003:xii). Media ini biasanya
menyajikan program-program yang dirancang utama untuk mendapatkan keuntungan yang
berasal dari pemasukan iklan dan dimiliki serta dikontrol oleh individu-individu dari dunia
swasta atau oleh perusahaan komersial.
Media penyiaran komunitas secara sederhana adalah media yang dimiliki dan
dikelola oleh komunitas untuk melayani kebutuhan komunitas itu sendiri. Pendeknya, media
komunitas adalah media dari, oleh, dan untuk komunitas. Sedangkan pengertian komunitas
adalah sejumlah orang yang mencoba membangun kehidupan bersama dan saling
mengenal. Mereka bersama karena disatukan oleh kedekatan wilayah atau oleh
kepentingan yang sama, meski tempat tinggalnya berjauhan.
Tabel 2: Perbandingan Jenis Media Penyiaran
Karakteristik Penyiaran Publik Penyiaran Swasta Penyiaran
Komunitas
Kepemilikan Negara/pemerintah Perusahaan Organisasi
komunitas
Sumber
pendanaan
Didukung biaya oleh
pemerintah yang
diambil dari dana
publik
Dibiayai
modal/investasi
swasta
Dibiayai dengan
sumber dana dari
dalam komunitas
Misi Pendidikan dan
kebudayaan bagi
seluruh warga negara
secara umum
Menjual khalayak
pendengar kepada
pengiklan
Melayani kebutuhan
komunitas
Isi Aneka program
Mengikuti selera
pasar
Berbagai program
yang dibutuhkan
oleh komunitas
Cakupan Regional dan nasional Regional Menjangkau wilayah
komunitas
Sasaran
Pendengar
Warga negara
menurut wilayah
setempat
Konsumen
Anggota komunitas
atau warga
Penyusunan
program
Penyusunan program
dari atas ke bawah.
Sepenuhnya
ditentukan pengelola
dan pendengar hanya
ikut saja.
Pendekatan
dilakukan dengan
survey, dari atas ke
bawah (manajer)
dan pengolahan
dari pasar.
Penyusunan
program melibatkan
warga/anggota
komunitas.
Sumber: Akhmad Nasir, 2002
Demokratisasi dan Diseminasi Informasi:
Kisah Penguatan Masyarakat Melalui Radio Komunitas
Media pada masa orde baru sering menyampaikan informasi yang seragam
sehingga mengakibatkan terjadinya kesamaan cara berpikir masyarakat. Namun era
reformasi memungkinkan adanya kebebasan baik dalam penyampaian informasi maupun
keinginan untuk mendirikan institusi media. Kebijakan pemerintah untuk membuka keran
informasi melalui deregulasi peraturan dan liberalisasi informasi telah memberikan jaminan
akan kemerdekaan pers.
Sayangnya kebebasan pers tersebut tidak menjamin keberagaman kepemilikan
media dan keberagaman informasi. Hal ini dapat kita cermati melalui komposisi pemilikan
saham media massa nasional yang berujung pada lingkaran elit penguasa. Akibatnya isu
yang diangkat oleh media kerapkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bahkan
didominasi oleh isu-isu yang beredar di Jakarta. Padahal seringkali isu-isu tersebut tidak
ada sangkut pautnya dengan situasi di pelosok negeri.
Salah satu jenis media yang menjadi agen penyebar isu-isu nasional ke daerah
adalah radio. Sebagai media yang mempunyai karakteristik tertentu, radio banyak
dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan. RRI sebagai satu-satunya radio negara yang
seharusnya menjadi redio publik, telah cukup lama disalahgunakan semata-mata hanya
sebagai corong pemerintah. RRI telah gagal memainkan perannya sebagai ruang publik.
Kemunculan radio komunitas menjanjikan tersedianya media yang mampu
memainkan peran sebagai ruang publik. Menjamurnya radio komunitas di Indonesia
membuktikan hal itu. Meski keberadaan radio komunitas sudah dimulai jauh sebelum era
reformasi, namun saat itu istilah radio komunitas belum banyak dikenal. Istilah yang sering
dipakai untuk menyebut mereka adalah radio gelap atau radio liar.
Pada tahun 2002, jaringan radio komunitas di beberapa wilayah mendeklarasikan
keberadaan mereka. Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat (JRK-Jabar) yang
beranggotakan tak kurang dari 50 radio mendeklarasikan diri pada tanggal 18 Maret 2002.
Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) dengan jumlah anggota 32 radio
mendeklarasikan diri pada 6 Mei 2002. Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)
mendeklarasikan diri pada tanggal 15 Mei 2002. Berikutnya menyusul lahir Forum
Komunikasi Radio Komunitas Lombok Barat, Jaringan Radio Komunitas Lampung,
Jaringan Komunitas Jawa Timur, dan Jaringan Radio Komunitas Banten pada tahun 2004.
Kemunculan berbagai radio komunitas merupakan bentuk partisipasi masyararakat
secara langsung dalam arena pergulatan di memperebutkan basis-basis informasi. Tak
heran bila kemudian dalam perjalanannya radio komunitas sering muncul sebagai bentuk
respon spontan warga untuk memenuhi kebutuhan informasi yang tidak dapat diberikan
oleh Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta yang ada.
Radio komunitas memungkinkan warga menyediakan dan menyebarkan informasi
sesuai dengan kebutuhan mereka. Penyediaan dan penyebaran informasi ini dilakukan
dari, oleh, untuk dan tentang komunitas. Masyarakat dilibatkan dalam setiap proses
sehingga informasi yang disampaikan benar-benar menyentuh masyarakat. Radio
komunitas juga memungkinkan munculnya tokoh lokal yang lebih dekat dengan realitas
sehari-hari dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, radio komunitas terbukti mampu
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang seperti partisipasi politik,
pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya.
Radio Angkringan di Timbulharjo, Sewon Bantul terbukti berhasil menggerakkan
partisipasi masyarakat khususnya dalam bidang politik. Proses pemilihan kepala desa pada
bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2003, adalah sebuah proses pemilihan
pemimpin yang paling transparan yang pernah dilakukan di desa itu 6. Hal ini dikeranakan
keseluruhan proses –mulai dari pencalonan sampai dengan pengumuman kepala desa
terpilih- disiarkan secara langsung oleh radio ini. Masyarakat dilibatkan dalam proses
melalui teknologi komunikasi yang mereka miliki, seperti telepon, SMS, surat, bahkan ada
yang sengaja datang ke studio untuk menyampaikan pendapat atau keluhan. Kedekatan
secara geografis dan psikologis terhadap radio Angkringan membuat masyarakat desa ini
menjadikan studio sebagai semacam posko pemilihan lurah.
Intensitas interaksi yang sangat tinggi selama kegiatan tersebaut membuat
penyimpangan yang terjadi juga dapat segera diatasi. Politik uang yang biasanya marak,
dapat ditekan, karena radio ini dengan gencar melakukan “pembusukan” politik uang7.
Selain itu, tindakan kekerasan atau intimidasi yang biasanya sering dilakukan untuk
mempengaruhi pemilih, berhasil ditekan 8
Di sisi utara Yogyakarta, pada pertengahan tahun 2002 tepatnya bulan Juni, Radio
Panagati di Kelurahan Terban Yogyakarta pernah melakukan talk show dengan wakil wali
kotamadya Yogyakarta, Syukri Fadholi. Melalui acara ini, warga berkesempatan untuk
menyampaikan pendapat mereka. Respon masyarakat sangat besar terutama ketika Syukri
menawarkan gagasan tentang pembangunan kawasan wisata di Sungai Code. Pada
kesempatan ini, Radio Panagati menjadi media informasi yang penting bagi warga Terban
dan menjadi mediator antara pemerintah dan warga.
Radio komunitas juga terbukti mampu mengatasi masalah sosial masyarakat. Di
Jawa Barat tepatnya di Desa Wantilan Kabupaten Subang, ada sebuah radio bernama
radio Abilawa, yang mampu meredam konflik antara warga desa9. Melalui acara-acaranya,
radio ini berhasil menjadi pemersatu berbagai kelompok masyarakat yang sering bentrok
dan tawuran. Disinyalir bentrok sering terjadi karena satu sama lain tidak saling mengenal
dan tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai desa tetangga. Untuk mengatasinya
radio Abilawa mengundang mereka dalam diskusi yang diselenggarakan di studio radio
tersebut. Melalui diskusi dan tatap muka terjadilah pertemuan antara elemen masyarakat
yang sering bentrok. Mereka kemudian saling mengenal dan saling mengirim pesan.
Dampaknya, tawuran dan bentrok menurun dengan drastis 10.
Di Kabupaten Lombok Barat, Radio Primadona yang dikelola warga Kecamatan
Bayan, berhasil menekan angka perceraian. Di daerah ini angka perceraian sangat tinggi
terutama pada saat musin paceklik. Melalui sebuah acara yang mereka beri nama Jendela
Keluarga, Radio Primadona memberikan ruang kepada warga untuk menyampaikan
6 Wawancara dengan Sarjiman, pengurus radio Angkringan, 24 Februari 2003.
7 Gerakan pembusukan politik uang ini dilakukan Radio Angkringan dengan menganjurkan penduduk agar
menerima uang yang diberi oleh para calon kepala desa. Namun sebaliknya, radio Angkringan menyarankan
agar walaupun telah diberi uang, penduduk mempunyai otonomi dalam memilih. Kalimat yang digunakan oleh
radio Angkringan adalah: “Diberi uang, terima saja.... soal pilihan terserah saya.....” (wawancara dengan
Sarjiman, pengurus radio Angkringan, 24 Februari 2003)
8 Wawancaran dengan Akhmad Nasir, Badan Perwakilan Desa (BPD) Timbulharjo, 27 Februari 2003.
9 Radio Komunitas: Meredam Konflik Dibayang-bayangi “Sweeping”, Kompas, 27 Maret 2002
10 ibid
masalah keluarganya. Kultur masyarakat yang membuat pihak perempuan tertutup bisa
dijembatani melalui radio. Para ibu bisa dengan leluasa mengungkapkan perasaan mereka
sehingga bisa didengarkan oleh suami mereka. Berkurangnya hambatan komunikasi,
menyebabkan keluarga di komunitas itu lebih saling memahami. Akibatnya, angka
perceraian turun secara signifikan.11
Di Jakarta Utara, Radio Kamal Muara yang dikelola oleh komunitas warga sebuah
perkampungan nelayan menjadi sarana informasi yang cukup efektif. Hampir seluruh warga
kampung Kamal Muara berprofesi sebagai nelayan. Mereka bisa berhari-hari mencari ikan
di laut. Radio Kamal Muara sangat membantu para nelayan mendapatkan informasi yang
mereka butuhkan saat melaut. Dari atas perahu yang mereka lengkapi dengan pesawat
penerima radio, para nelayan bisa memantau perkembangan harga ikan, prakiraan cuaca,
sampai pesan-pesan dari keluarga mereka di rumah.12
Peran radio komunitas sebagai media komunikasi keluarga juga dilakukan oleh
Radio Wiladeg di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Kecamatan Wiladeg terletak di
dataran tinggi, dimana sebagian besar penduduknya merantau ke Jakarta. Jaringan telpon
di Wiladeg masih sangat minim, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi dengan keluarga di Jakarta. Radio Wiladeg yang megudara sejak
pertengahan tahun 2002 menjembatani kesulitan ini dengan menyediakan satu acara yang
khusus diperuntukkan bagi warga Wiladeg yang tinggal di Jakarta untuk menyampaikan
pesan kepada keluarga mereka di kampung halaman. Caranya, warga yang di Jakarta
menelpon ke studio Radio Wiladeg. Dialog telpon ini dipancarluaskan melalui pemancar
radio sehingga bisa didengarkan oleh keluarga mereka melalui radio di rumah. Sedemikian
besarnya manfaat yang dirasakan oleh warga menyebabkan warga Wiladeg yang tinggal di
Jakarta menggalang dana untuk membiayai radio ini melalui organisasi mereka, Ikatan
Keluarga Gunung Kidul (IKG).13
Dalam bidang ekonomi, radio komunitas mampu bertindak sebagai income
generating, melalui siaran iklan lokalnya. Para pengusaha di wilayah Desa Timbulharjo
mengiklankan usaha mereka melalui Radio Angkringan, sebaliknya Radio Angkringan
mendapatkan imbalan dari penyiaran iklan tersebut. Hal ini menciptakan hubungan
simbiosis mutualis antara radio komunitas dan warga sekitar. Di radio Angkringan, hasil
penjualan kartu request dan penerimaan dari iklan lokal memungkinkan radio ini untuk
membiayai kegiatan operasionalnya. Ini juga menjadi indikasi bahwa radio Angkringan
dibutuhkan oleh warganya 14.
11 Wawancara dengan Syaeri, Pengelola Radio Primadona, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat,
2003.
12 Wawancara dengan Irfan, peengelola Radio Warga Kamal Muara, Jakarta, 2003
13 Wawancara dengan Widjanarko, pengelola Radio Wiladeg, 2004
14 Wawancara dengan Sarjiman, pengurus radio Angkringan, 24 Februari 2003
Penutup
Dalam era kehidupan bernegara modern dewasa ini, kebebasan pers yang
fungsional bagi proses demokratisasi adalah kebebasan pers yang mempu menciptakan
public sphere (Hardiman, 1993) . Dalam konteks ini, public sphere dimaknai sebagai ruang
atau kawasan yang relatif terlindung dari intervensi negara atau penetrasi pasar. Ruang ini
memungkinkan publik untuk menyelenggarakan wacana yang demokratis dan rasional
sehingga mereka mampu mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan mereka.
Media memainkan peran penting bagi penciptaan public sphere ini. Namun ditengah
arus spirit kapitalisme dan komodifikasi dewasa ini, timbul pesimisme terhadap potensi dan
prospek media sebagai public sphere. Gejala ini telah terlihat, terutama dalam bentuk
pemusatan kepemilikan media dan keseragaman informasi yang disampaikan. Logika dan
mekanisme kapital mengakibatkan deregulasi penyiaran tidak selalu berkorelasi dengan
kebebasan informasi atau kebebasan pers. Seringkali kebebasan pers tersebut tidak
menjamin keberagaman kepemilikan media dan keberagaman informasi. Hal ini dapat kita
cermati melalui komposisi pemilikan saham media massa nasional yang berujung pada
lingkaran keluarga penguasa.
Konglomerasi dan kapitalisasi media ini mengakibatkan keseragaman informasi di
hampir semua media penyiaran. Jika dicermati, sebagian besar siaran televisi
menayangkan program yang sama, meskipun dengan judul atau format yang berbeda. Jika
ada program di sebuah stasiun televisi diminati oleh pemirsa, maka stasiun televisi yang
lain dapat dipastikan akan mengikutinya. Hal yang sama juga terjadi pada radio dan media
cetak.
Kecenderungan penguasaan modal terhadap media memunculkan reaksi. Maka
menggelindinglah wacana tentang media yang mampu melepaskan diri dari dominasi
negara tapi tidak takluk terhadap pasar. Media ini disebuat media publik dan media
komunitas. Hal ini menguat manakala media penyiaran publik dan komunitas mulai
menampakkan fungsi dan perannya. Media ini menjanjikan saluran komunikasi yang bebas
dominasi, dimana tujuan utamanya adalah mewujudkan manusia yang semakin rasional
dan kritis.
Dari paparan diatas, nampak bahwa masing-masing komunitas mempunyai
kebutuhan informasi yang berbeda. Kebutuhan akan informasi yang spesifik tersebut tidak
mereka dapatkan dalam media nasional atau media komersial. Atas pertimbangan inilah
radio komunitas lahir dan berkembang sebagai media alternatif warga.
Penguatan masyarakat dapat terjadi jika ada keseimbangan antara sektor negara,
swasta dan masyarakat itu sendiri. Keseimbangan itu dapat tercapai jika arus informasi
antara ketiga pihak berjalan dengan lancar dan bersifat timbal balik. Radio komunitas
memungkinkan arus informasi berjalan lancar dan bersifat timbal balik. Aspirasi, pendapat,
ide, gagasan dan keluhan dari mereka yang tidak mempunyai suara, dapat ditampung dan
disebarkan melalui radio komunitas.
Keberadaan radio komunitas membuka akses informasi sekaligus memperlancar
proses desentralisasi informasi yang selama ini tersentral pada lembaga penyiaran negara
dan komersial. Selain itu keberadaannya mampu menjadi public sphere yang menawarkan
ruang terbuka untuk berekspresi dan terlibat langsung dalam proses konsumsi informasi
yang dialogis. Keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut akan melahirkan masyarakat
yang berdaya (empowered) dan mempunyai posisi tawar yang setara.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan kemampuan radio komunitas
sebagai salah satu aspek penguat masyarakat. Pengalaman radio-radio komunitas tersebut
membuktikan bahwa jika warga diberi kesempatan dan informasi yang seimbang, maka
proses penguatan masyarakat akan tercapai. Pengalaman juga membuktikan bahwa sering
kali konflik atau salah paham terjadi karena warga merasa tidak dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan. Keterlibatan warga dalam setiap proses pengambilan keputusan
dimungkinkan dengan adanya radio komunitas. Akses untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan tersebut, dapat dengan mudah diraih oleh warga karena
kedekatan –baik dalam pengertian geografis maupun pilihan isu yang diangkat dalam
siaran- radio komunitas dengan pendengarnya. Selain itu, masyarakat akan lebih
bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka putuskan. Harapannya,
penyimpangan atau pelanggaran keputusan tidak terjadi, atau setidaknya dapat
diminimalisir.
Masyarakat yang terorganisir adalah salah syarat terciptanya civil society. Dalam
masyarakat yang terorganisir, warga saling bahu-membahu menciptakan persatuan
sehingga mereka tidak mudah terpecah belah. Radio komunitas memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk mengorganisir diri mereka. Manajemen radio komunitas yang
dipelajari bersama-sama, memberikan dasar untuk mengorganisasikan masyarakat. Pada
gilirannya, masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dihadapan negara dan swasta.
Bukankah ini yang kita harapkan dari demokrasi
referensi : http://uin-suka.info/fsoshum/index.php?option=com_content&task=view&id=70&Itemid=41
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 setelah dijudicial review dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, maka peraturan - peraturan yang mengikutinya telah dikeluarkan dan diberlakukan pemerintah adalah :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegaiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak Yang Berlaku pada Depkominfo.
9. Peraturan Menteri Kominfo No.17 /P/M.KOMINFO/6/2006 tentang Tata Cara Penyesuaian Izin Penyelenggaraan Penyiaran;
10. Peraturan Menteri Kominfo No.28/P/M.KOMINFO/9/2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran;
11. Peraturan Menteri Kominfo No.39/P./M.KOMINFO/12/2008 tentang Daerah Ekonomi Maju dan Daerah Ekonomi Kurang Maju Dalam Penyelenggaraan Penyiaran;
12. Peraturan Menteri Kominfo No.18 /Per/M.KOMINFO/03/2009 tentang Tata Cara Proses Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran oleh Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota.
13. Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 02/SE/M.KOMINFO/3/2006 tentang Pelaporan Keberadaan LPP, LPS,LPK dan LPB.
referensi : http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/12/undang-undang-nomor-32-tahun-2002.html
Sejarah dan Perkembangan Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)
Sejarah dan Perkembangan Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)
JRKI adalah Jaringan Radio Komunitas Indonesia. Sebuah Organisasi radio komunitas yang ada di Indonesia.
Perkembangan media komunitas memiliki peran penting dalam membangun kesadaran publik dan mendorong terciptanya aliran informasi dua arah. Di Indonesia kata “media komunitas” mulai dipakai oleh masyarakat pada awal tahun 2000 dengan muncul buletin komunitas “Angkringan” yang digagas oleh sekelompok anak muda di Timbulharjo, Yogyakarta, buletin Forum Warga Kamal Muara, “Fokkal” buletin Forum Warga Kalibaru dan beberapa Forum Warga di Bandung. Memasuki tahun 2001, kelompok anak muda yang mengelola buletin Angkringan di Timbulharjo mulai mengembangkan radio komunitas, yang mereka sebut Radio Angkringan FM, kemudian menginspirasi Paguyuban Pengembangan Informasi Terpadu (PINTER) di Terban Yogyakarta untuk mendirikan Panagati FM, Forum Warga Cibangkong (FWC) mendirikan radio komunitas Cibangkong di Bandung, Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) mendirikan radio komunitas Majalaya Sejahtera (MASE) dan Forum Komunikasi Warga Kamal Muara mendirikan radio komunitas Kamal Muara di Jakarta.
Pada bulan Februari 2002 beberapa radio komunitas yang digagas oleh forum warga mulai terlibat advokasi Rencana Undang-Undang (RUU) Penyiaran, revisi UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3701). Untuk kepentingan advokasi itulah pada tanggal 22 sampai dengan tanggal 24 Maret 2002 diadakanlah workshop pertama radio komunitas, yang dihadiri oleh 18 radio komunitas; 2 radio komunitas yang didirikan oleh forum warga, 5 radio kampus, 9 radio hobby, Radio Komunitas Angkringan dan Radio Komunitas Serikat Petani Pasundan. Pada workshop inilah mulai dibahas tentang definisi, ciri dan karakteristik radio komunitas.
Selain itu pada workshop ini juga dirumuskan stategi untuk melakukan advokasi RUU Penyiaran yang mengakomodir Lembaga Penyiaran Komunitas dan sebagai alat perjuanganya, pada hari minggu tanggal 24 Maret 2002 pukul 14.00 WIB dideklarasikanlah Jaringan Radio Komunitas (JRK) Jawa Barat. Kemudian menyusul deklarasi Jaraingan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) pada tanggal 6 Mei 2002, kemudian dilanjutkan dengan lokakarya nasional pada 12-15 Mei 2002 sekaligus deklarasi Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI).
Pada tanggal 28 Desember 2002, perjuangan radio komunitas menampakkan hasil yang cukup menggembirakan dengan disyakkannya UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang di dalamnya mengakui keberadaan Lembaga Penyiaran Komunitas tepatnya pada Bagian Keenam pasal 21-24 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas.
Berdasarkan perkembangannya, maka penggolongan radio komunitas dapat di bagi kedalam empat kelompok; pertama, radio komunitas yang berangkat dari perkembangan kebutuhan media informasi komunitas yang digagas oleh forum warga seperti radio komunitas Panagati, Radio Komunitas Cibangkong (RKC) dan radio komunitas Kamal Muara. Dalam hal ini radio komunitas Angkringan merupakan kekecualian karena keberadaan buletin dan radio angkringan digagas oleh sekelompok anak muda dan dalam perjalannya melakukan penguatan kelembagaan dengan membentuk Forum Komunikasi Warga Timbulharjo (FOKOWATI) pada tanggal 27 Mei 2001.
Kedua, radio komunitas yang berbasis kampus. Ketiga, radio komunitas yang pada awalnya merupakan radio hobbi yang kemudian beririsan dengan kelompok pertama dalam proses advokasi UU Penyiaran dan melakukan reorientasi menjadi radio komunitas. Keempat, radio komunitas yang orientasinya hobbi atau komersil dan lebih cocok menjadi lembaga penyiaran swasta (radio swasta), tetapi tidak mempunyai daya saing dengan radio swasta eksisting.
Perkembangan radio komunitas di Indonesia mengalami penambahan jumlah yang kian pesat seiring dengan munculnya keinginan dan kesempatan masyarakat untuk menggunakan radio komunitas dalam penyelesaian persoalan-persoalan komunitasnya. Bahkan beberapa radio komunitas sudah berperan dalam proses pembentukan local good governance, village good governance, menyokong ekonomi kerakyatan dan melestarikan kearifan-kearifan lokal. Seiring dengan itu pula muncul berbagai persoalan yang harus segera diselesaikan oleh radio komunitas, persoalan teknis/perangkat siaran, isi/content siaran dan kelembagaan radio komunitas yang berdampak terhadap keberlanjutan lembaga penyiaran ini.
referensi : http://blessradio.blogspot.com/2008/08/sejarah-dan-perkembangan-jaringan-radio.html
Senin, 02 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)